Kamis, 22 Juni 2017

Hakekat Manusia Menurut Al-Farabi


Selamat siang teman teman sekalian, 
Pernah dengar nama Al-Farabi ? Yups Al-Farabi ... 1 .. 2.. 3 .. ah kelamaan, wkwkwkw jujur saya juga baru denger nama Al-Farabi, yaudah jangan lama lama mari kita berkenalan dengan beliau .... Go..


"Second Teacher" yah, label ini disematkan kepada Al-Farabi atau nama aslinya Abu Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh atau lebih dikenal dengan Abu Nashr. Lantas siapa "First Teacher" ? "First teacher "mengacu pada Aristoteles. Al-Farabi lahir di Wasij distrik Farab (sekarang dikenal dengan distrik Atrar/Transoxiana). Turkistan pada tahun 257 H / 870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia/Iran sedangkan ibunya berkebangsaan Turki.
Al-Farabi sejak kecil adalah anak yang sangat tekun dalam belajar terutama dalam mempelajarai kosa kata, bahkan ada yang bilang bahwa beliau dapat menguasai 70 macam bahasa, tetapi hanya Arab, Persia, Turki, Kurdi yang digunakan secara aktif.
Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, beliau hijrah ke kota Baghdad, yang pada saat itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Beliau belajar kurang lebih selama 20 tahun. Beliau benar benar memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan kepada Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta Ibnu Yunus untuk belajar ilmu mantiq (logika).
Sesudah belajar di Baghadad beliau memutuskan untuk pergi ke Harran, Turki karena pada waktu itu Harran adalah salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Disana beliau berguru kepada Yohana ibnu Hailan, namun tidak lama ia meninggalkan kota ini utnuk kembali lagi ke Baghdad. Disini ia kembali lagi mendalami filsafat, dan akhirnya mencapai ahli mantiq (logika) dan dari sini beliau mendapatkan gelar "Second Teacher".
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapt mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Jiwa manusia berasal dari materi asalnya memancar dari akal kesepuluh. Jiwa adalah jauhar  rohani sebagai from bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqal,  berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a.    Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b.    Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang medorong untuk merasakan dan berimajinasi.
c.    Daya al-Nathiqat (bepikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkatan berikut.
1.       Akal Potensial (al-Hayulani), ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.
2.       Akal Aktual (al-Aql bi al-fil), akal yang dapat melepaskan arti0arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyau wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi telah dalam bentuk actual.
3.       Akal Mustafad (al-Aql al-Mustaafad), akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuj mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.
Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan filsafat Negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan perintah Allah, maka jiwa ini, menurut Al-Farabi, akan kembali kea lam nufus, (alam kejiwaan) dan abadidalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara fasiqahi, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan segala perintah allah, ia kembali kealam nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsaraan. Sementara itu, jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni yang tidak kenal dengan Allah dan tidak pernah melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.
Teman teman saya sudah memaparkan mengenai Al-Farabi, mudah mudahan menambah wawasan teman teman semua.
Mohon maaf bila ada yang salah dan bisa langsung menuju sumber langsung heheheh


http://filsafatkebingungan.blogspot.co.id/2015/10/makalah-filsafat-islam-al-farabi.html
https://syafieh.blogspot.com/2013/04/filsafat-islam-ar-farabi-dan-pemikiran.html
http://thegreatthinkers.org/al-farabi/introduction/
http://www.muslimheritage.com/article/al-farabis-doctrine-education-between-philosophy-and-sociological-theory
http://jimmygeneh.blogspot.co.id/2012/02/al-farabi.html









Jumat, 16 Juni 2017

Eksistensialisme Jean Paul Sartre



Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memfokuskan persoalan seputar eksistensi, khususnya eksistensi manusia. Dalam hal eksistensi, Sartre merumuskan bahwa eksistensi mendahului esensi. Teori Sartre tersebut membalik tradisi filsafat Barat sejak masa Plato yang selalu menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.
Donny Gahral Ardian di dalam bukunya yang berjudul Percik Pemikiran Kontemporer menjelaskan pemikiran Sartre terhadap masalah eksistensi yang membedakannya dengan filsuf-filsuf sebelumnya. Dijelaskan bahwa Sartre menganggap esensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti halnya esensi benda-benda buatan tangan manusia (manufaktur). Contohnya, ketika seseorang melihat sebilah pisau dapur, orang tersebut langsung dapat memahami bahwa pisau dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep di kepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatan pisau tersebut.
Filsuf-filsuf sebelum Sartre cenderung memandang manusia seperti pisau tadi. Mereka menjelaskan manusia sebagai produk dari Pencipta Yang Agung yaitu Tuhan. Dalam artian, sebelum manusia ada, Tuhan telah memiliki konsep tentang tujuan penciptaan manusia. Sehingga setiap individu menjadi bentuk realisasi konsepsi tertentu yang telah ada di pemahaman Tuhan sebelumnya. Tuhan dan kodrat manusia adalah dua hal yang tak terpisahkan.
Konsep pemikiran inilah yang ditentang oleh Sartre. Ia lalu mengambil jalur ateisme. Ia mencoba meniadakan Tuhan. Menurut logikanya, “jika Tuhan tidak ada, otomatis manusia pun bebas dari beban kodratnya, karena tidak ada Tuhan yang terus-menerus mengawasinya”. Sartre menegaskan bahwa sejatinya manusia pertama-tama ada dan kemudian mewujudkan esensi/makna/kodratnya. Manusia adalah semata-mata apa yang dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya karena tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya. Intinya, manusia adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esensinya sendiri.
  • Kesadaran
Konsepsi mengenai kesadaran sangat penting dipahami terlebih dahulu untuk memahami eksistensialisme Sartre. Kesadaran menurut Sartre adalah kosong tanpa muatan. Pendapatnya ini juga merupakan kritik terhadap Descartes yang membendakan kesadaran dengan menganggapnya sebagai substansi. Kesadaran manusia bukan substansi. Ia tidak memiliki muatan dan kepadatan seperti halnya benda-benda melainkan kosong.
Sartre mengemukakan adanya tiga sifat kesadaran. Pertama, kesadaran bersifat spontan artinya kesadaran itu dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain atau dengan kata lain menghasilkan dirinya sendiri. Kedua, kesadaran bersifat absolut artinya bukan objek bagi sesuatu yang lain atau dengan kata lain kesadaran selalu ada bagi dirinya sendiri. Ketiga, kesadaran bersifat transparan, artinya kesadaran mampu menyadari dirinya. Hanya manusia yang memiliki kemampuan menyadari dirinya, maka kesadaran diri adalah modus eksistensi manusia yang membedakannya dengan modus eksistensi benda-benda.
Kesadaran membawa manusia pada dua tipe eksistensi yaitu être en soi (ada pada dirinya) dan être pour soi (ada bagi dirinya). Être en soi merupakan tipe eksistensi benda-benda yang tak berkesadaran dan padat tanpa celah. Kepadatan benda-benda membuatnya tak mungkin “menjadi”. “Menjadi” dalam hal ini diartikan sebagai ada yang belum mewujudkan dirinya tetapi sekaligus lepas dari adanya sekarang. Sedang être pour soi adalah yang berkesadaran dan kosong.
  • Waktu
Sartre menolak konsepsi waktu yang spasial, yaitu rentetan titik-titik dalam rentang masa. Maksudnya, titik pasti sekarang tidak pernah dapat ditentukan. Masa lalu, saat ini, dan masa depan bukan tiga entitas yang terpisah, melainkan saling berhubungan. Konsep Sartre mengenai waktu pada dasarnya berhubungan dengan dua tipe eksistensi etre-en-soi dan etre-pour-soi. Masa lalu adalah etre en soi, karena tidak dapat diubah, sedangkan masa kini adalah etre pour soi karena terbuka pada segala kemungkinan.
  • Kebebasan
“Manusia terkutuk bebas” merupakan kalimat Sartre yang diingat hingga saat ini.
Kebebasan itu pertama dikarenakan, manusia tidak memiliki kodrat yang ditanamkan oleh Tuhan atau dengan kata lain Sartre meniadakan Tuhan, maka manusia bebas. Kedua, manusia adalah makhluk berkesadaran, sehingga ia bercirikan kekosongan, berlawanan dengan kepadatan benda-benda. Manusia tidak pernah terumuskan secara tuntas. Karena manusia selalu berongga, maka manusia bebas. Meskipun demkian Sartre beranggapan kebebasan bukan berarti tanpa tanggung jawab, kebebasan justru mengindikasikan tanggung jawab.


Jumat, 02 Juni 2017

Auguste Comte

Penjelasan Comte mengenai tiga tahap perkembangan pikiran manusia adalah:

Teologis
Tingkat pemikiran manusia di mana ia memahami bahwa semua gejala di dunia ini disebabkan oleh hal-hal supernatural. Cara pandang seperti ini tidak dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan.

a. Periode Fetisisme
Bentuk pemikiran masyarakat primitif kepercayaan atas roh-roh atau bangsa halus yang turut hidup bersama kita. Ini terlihat pada zaman purba dimana diadakan upacara penyembahan roh halus untuk meminta bantuan maupun perlindungan.
b. Periode Politeisme
Periode ini masyarakat telah percaya akan bentuk para penguasa bumi yakni para dewa-dewa yang terus mengontrol semua gejala alam.
c. Periode Monoteisme
Semakin majunya pemikiran manusia, pada periode terakhir ini muncul kepercayaan akan satu yang tinggi pada abad pertengahan. Kepercayaan akan Tuhan yang berkuasa penuh atas jagad raya, mengatur segala gejala alam dan takdir makhluk.
Metafisik
Ini hanya merupakan bentuk lain dari tahap yang pertama. Bedanya, kalau yang pertama akal budi mengandaikan yang supernatural secara absolut, tahap metafisik mengandaikan adanya kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda dan mampu menghasilkan gejala-gejala yang ada di dunia. Dalam tahap ini, manusia belum berusaha untuk mencari sebab serta akibat dan gejala-gejala.

Positif
Tahap ini mengandaikan manusia sudah dapat berpikir secara ilmiah. Akal budi manusia tidak lagi memusatkan perhatian pada pengertian-pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta. Tapi memusatkan perhatian pada studi tentang hukum-hukumnya yang tidak berubah. Sarana-sarana pengetahuan ini adalah penggabungan antara penalaran dan pengamatan secara empiris.


Sumber: http://blog.unnes.ac.id/hafidsetiaji/2015/11/08/3/ 
https://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/06/05/auguste-comte/